MENGATASI "BEBAN" TANPA "BEBAN"

Setiap manusia, baik laki-laki ataupun wanita, pasti pernah mengalami tekanan, dimana besar/kecilnya tekanan tersebut berakibat atau bereaksi pada pikiran kita,, ada beberapa orang yang bisa mengatasi dengan mudah “beban” akibat reaksi tersebut, ada yang sekiranya untuk menjangkau saja susah,, berbagai macam,,
sebuah "beban" ternyata sudah diperhitungkan kisarannya...
sehingga tiada seorang yang akan memikul "beban" melampaui dari batas kemampuannya.....

dengan begitu apakah sebuah "beban" bisa "dipertandingkan"?
tentu tidak...
karena kembali pada rumusan semula, bahwa berat/tidaknya bukan terletak pada kapasitas "beban" tersebut... tetapi terletak pada fitrah kesanggupan masing-masing individu...

lantas bagimana cara "mengatasi" “beban” tersebut agar tidak menjadi berat atau menjadi semakin berat lagi?
Inilah mungkin point yang paling sukar untuk dilakukan, karena berkenaan dengan diri sendiri,,
Seperti pada umumnya, dalam menilai diri sendiri, kita tidak bisa berlaku objektif…..
Namun demikian, marilah kita coba sedikit demi sedikit membuka cakrawala hati kita, agar tidak tetap dalam belenggu imunitas ego,,
Mungkin bisa kita ambil contoh kasus sebuah penyakit, lebih spesifik lagi kita ambil contoh penyakit pikiran,,
Mengapa penyakit pikiran yang dijadikan contoh kasus?
Secara umum segala penyakit bermula dari pikiran,,

Seperti sebuah “beban”, Allah SWT juga berlaku sama pada sebuah penyakit,,
Allah SWT menurunkan penyakit untuk umatnya pasti sekaligus dengan obatnya,,
Tinggal kita mau atau tidak untuk mencari dan menelusurinya…..
Misalnya; sakit flu
Sebelum Allah SWT memerintahkan flu tersebut “hinggap” pada manusia, Allah SWT pasti sudah mengutus makhluk-makhluknya untuk memberikan kabar warning, seperti; bersin, hidung terasa buntu, badan terasa agak demam sebagai efek reaksi tubuh menangkap signal flu dan lain sebagainya.
Sebenarnya hal itu semua sudah “diberitakan” kepada kita semua agar kita bisa; 1. lebih waspada terhadap segala kemungkinan, 2. Sebagai rasa syukur masih dijadikan manusia dan diberi sifat manusiawi [salah satunya karena masih diberi penyakit],,

Secara umum kita akan menyalahkan keadaan atau penyakit tersebut, tanpa adanya belas kasihan terhadap mereka,,
Mengapa bisa demikian?
Padahal mereka; flu dan yang lainya itu “hanya” makhluk yang berusaha patuh terhadap “tuannya” dengan menjalankan perintahnya, tega-kah kita “menghimbau” mereka untuk "membelot" dari yang sudah diinstruksikan?
entengnya kita sendiri menyalahkan mereka, tanpa berpikir untuk koreksi diri,,
apa yang kita makan sehingga timbul gejala-gejala tersebut, apa yang kita sentuh sehingga bakteri-bakteri itu pun turut andil menjadi pengirim kabar, dan apapun saja yang bisa menjadi kemungkinan serta “memicu” datangnya para pembawa kabar tersebut…..
sudahkah kita berpikir…..
sudahkan kita memberikan koreksi terhadap diri kita sendiri…..

Itulah peran pikiran, bagaimana kita berpikir, cara kita berpikir, itulah yang menentukannya…
Itulah mengapa muara penyakit itu ada pada pikiran kita…..
Bagaimana prosentase hati sampai dikalahkan oleh pikiran… itulah menurut saya yang perlu diurai lagi benang kusutnya…..

Lantas bagaimana jika pikiran itu sendiri yang menjadi sumber dan objek sakitnya?
Seperti halnya sakit flu diatas, kita harus mengkoreksi diri, atas apa yang kita lakukan sebelum penyakit pikiran itu melanda, adakah [walau sedikit] gejala-gejala yang mampu kita tangkap/ingat, petakanlah sumber-sumber yang dirasa menjadi sebab penyakit, rencanakan proses “penyembuhan”, dan renungkanlah apa yang sudah terjadi…..

Bagaimana jika proses “penyembuhan” tersebut melibatkan orang lain?
Mungkin bisa saja hal tersebut dilakukan, misalnya saja dengan bercerita pada teman/sahabat, mendatangi psikolog…..
Namun [menurut saya] hal ini tidak akan merubah/menyebuhkan sampai dasar, karena bukan kita sendiri yang “menginginkan”, dalam hal ini kita bukan sebagai penentu utama, kita hanya sebagai pemilih, antara “iya” dan “tidak” atas pilihan-pilihan yang diberikan oleh teman/sahabat,, sama halnya dengan dopping, jika itu dilakukan berulang-ulang maka yang akan terjadi adalah efek candu, kita akan kecanduan mendapat nasihat, saran, solusi dan sebagainya, tanpa kita sadari….. kita sendiri sedang menumpulkan otak kita, cara berpikir kita, yang sesungguhnya diberikanNYA dengan ciri khas masing-masing,, kita sedang “membunuh diri” kita sendiri, dengan memasung alam pikiran kita didalam alam pikiran mereka,,

Lantas bagaimana cara yang bijaksana?
Kita harus belajar
belajar “menyembuhkan” diri kita sendiri,,

Tidak cukupkah “bicara” dengan Gusti Allah Kang Murbeng Dumadi? Sehingga kita “membicarakanya” dengan "yang lain”?,,
tidak cukupkah diri kita “sendiri” sebagai penyembuh?
Tidak ingatkah kita akan unsur pembentuk manusia?
Dalam diri manusia terdapat kumpulan zat sejagad raya, bukan haya bumi, JAGAD RAYA
Itulah mengapa manusia disebut MAKRO KOSMOS… bukan "sekedar" mikrokosmos,,

Mintalah petunjuk kepada Allah SWT, semoga diberikan kemudahan dalam “menangkap” berita dari makhluk pembawa kabar penyembuhan, sebagaimana para makhluk pembawa kabar “sakit”,,
Memang cara/metode ini terasa tidak mudah, namun jika hal ini telah dilakukan, “di-olah”, maka ketika ada “beban, beban dan beban” yang lain, tidak akan sulit bagi kita untuk segera bangkit dari hal tersebut,,  
ini adalah sebuah proses bermanusia untuk menjadi yang lebih manusia,,


ipungsweettenan@11022014


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sinau Mati

PENGETAHUAN KARAWITAN