Walisongo iku Kurang Gawean

Selalu terngiang akan intonasi frasa [kata] dalam sebuah wedaran [penjabaran],,

[menurutku] intonasinya unik,,
Intonasinya seakan kental bernuansa kekecewaan, anjuran, ajakan untuk bercermin, kesederhanaan dan atau kesahajaan,,
Intonasi frasa dari kalimat yang diucapkan itu;
"...lha ngapain jauh-jauh pergi ke Yunani untuk belajar moral?, ngentek-ngentekne dana, wong negeri kita ini sudah kaya.....
KENE, SINAU KENE KARO WAYANG....."

Bagian Capslock itulah ketika terdengar oleh telinga ini, seakan frasa itu mengeluarkan nuansa seperti tersebut di atas,, entah mengapa kalimat itu begitu terngiang...
Salah satu visualisasiku dari bayangan frasa itu adalah sedang sinau; belajar kelompok dengan Wayang [yang secara fisik] bertubuh tipis itu,, jika hal itu benar-benar terjadi, ya mungkin akan terlihat lucu…..

tentunya bukan seperti itu yang dimaksudkan,,
lebih lanjut dikatakan bahwa, jika ada yang menganggap Wayang HANYA sebuah rekaan atau fiktif belaka, maka orang tersebut adalah Bodoh,,
Karena [isi cerita] Wayang itu memang "hanya" cerita, bukan sebuah fakta sejarah,,
Maksud yang coba ingin disampaikan oleh pewedar dalam uraian tersebut adalah, dalam hal ini bukan masalah isi ceritanya,, akan tetapi bagaimana masyarakat itu lebih dahulu mengetahui apa maksud dari [pergelaran] Wayang tersebut,,

[kembali disampaikan bahwa] tokoh dalam Wayang itu adalah penjisiman [perwujudan] karakter manusia,, dimana ada 114 simpingan [bagian] kiri dan 114 simpingan [bagian] kanan,, yang artinya ada visualisasi 114 karakter baik dan ada 114 karakter tidak baik,,
Dari sekitar 228 karakter tokoh Wayang tidak ada yang sama; baik bentuk, sandangan/baju dan warnanya, karena setiap bentuk, sandangan dan warnanya itu hakikatnya sudah membawa unsur sandi yang tersembunyi,, sandi disini maksudnya adalah padatan karakter yang diwujudkan dalam perwakilan; bentuk, sandangan dan warna,,

Lakon
Wayang, menurut asalnya diambil dari epos Mahabarata dan Ramayana,,
Namun demikian dalam pergelaran Wayang di Nusantara, ceritanya sudah berbeda [bisa dikatakan] jauh dari sumber cerita Mahabarata dan Ramayana,, nama, tempat dan beberapa hal masih sama,, dominan perbedaan ada pada ranah spiritualnya,, bagaimana bisa begitu?

[lebih lanjut dijelaskan], perubahan spiritual dalam cerita itulah adalah kreasi Walisongo,,
“…dadi Walisongo di Nusantara iku kurang gawean, ora "dakwah", malah sinau Wayang, nggawe Macapat, nggawe Gamelan …..”, dengan nada bercanda beliau mengungkapkannya,,

karena memang disitulah letak kecerdasan Walisongo dalam menyampaikan Islam pada masyarakat,,
“…lha metode dakwah Walisongo itu apakah hasil kreasi Walisongo sendiri?”
Metode yang utama adalah mencontoh Nabi Muhammad SAW, metode selanjutnya adalah hidayah Allah SWT pada para Wali,,

Metode utama adalah syiar [menyampaikan] Islam dengan bi Lisani Kaumihi [semoga tulisannya tidak kliru],, bi Lisani Kaumihi artinya dengan menggunakan “bahasa” yang dikenal oleh sebuah kaum/masyarakat,,

Metode yang selanjutnya adalah Wayang dan Budaya Nusantara,,
Secara umum, pada era Walisongo, pergelaran Wayang adalah pergelaran yang diminati,,
Namun pergelaran Wayang yang sudah ada bukan seperti Wayang yang seperti kita lihat seperti sekarang,, yang ada pada masa itu, adalah Wayang Beber,,
yaitu Wayang yang masih bentuk statis, karena “hanya” digambar pada sejenis kain atau kulit hewan,,
yang kemudian sang Dalang bercerita atas visualisasi gambar tersebut,,

Setelah melakukan perombakan spiritual isi cerita Wayang, Walisongo mulai membuat bentuk Wayang,, bentuk Wayang disesuaikan dengan karakter tokoh dan tentunya disesuaikan dengan syariat Islam yang tidak menyerupai bentuk manusia,, kemudian terbentuklah juga perform pergelaran Wayang Kulit seperti yang kita ketahui sampai sekarang ini, pelakonan karakter tokoh Wayang dan Gamelan sebagai pengiring pertunjukan Wayang,,

Cerita Wayang yang kita lihat sampai sekarang, semua cerita bakunya adalah hasil kreasi dari Walisongo,, cerita yang tidak ada dalam epos Mahabarata dan Ramayana pun dibuatkan cerita tersendiri, umum dikenal sebagai Lakon Carangan atau Cerita Tambahan; Pelengkap,, Lakon Carangan ini juga sebuah celah syiar Islam, namun demikian Lakon Carangan tidak boleh bertentangan dengan Lakon Baku [cerita utama] Wayang,, disinilah letak intelektual, kesungguhan dan ketekunan Walisongo “diuji” dalam menerapkan metode syiar Islam,,

Salah satu Lakon Wayang yang samar-samar masih teringat adalah Lakon DEWA RUCI,,
Dikisahkan karakter Bima alias Bratasena alias Jagal Abilawa alias Werkudara yang sedang menempuh laku atau perjalanan mencari keberadaan Sang Pencipta [Makrifatullah],, dalam cerita tersebut dikisahkan, untuk sampai pada tahapan tersebut, diperlukan sebuah Gaman; Pusaka, sebagai syarat dan tanda sekaligus ujian bahwa sudah tercapainya tahapan sebelumya,, keberadaan Sang Pencipta itu tidak diberitahukan dimana tempatnya,, namun hanya diberikan clue untuk menemukanNYA,,

Clue yang diberikan pada Bima adalah;
Disuruh untuk mencari Galihing Kangkung, Tipak ing Kuntul Mabur, Susuhing Angin,,
Galihing Kangkung = hati [tengah-tengah] dari batang [sayur] kangkung,,
Tipak ing Kuntul Mabur = jejak burung Kuntul yang sedang terbang, [burung Kuntul, kalau tidak salah burung Bangau],,
Susuhing Angin = Sarang Angin,,

Dalam cerita ini tidak ada yang bisa dijadikan kesimpulan lain, selain [seseorang] yang sedang menempuh Makrifatullah,,

Sebuah upaya yang sulit bin susah bin sukar untuk mengenalkan kesejatian Tuhan,, namun itulah yang “dikerjakan” oleh para Walisongo, mengajarkan [tahapan] Makrifatullah dengan bahasa setempat,, bahkan sebisa mungkin, Walisongo tidak menggunakan bahasa Arab sebagai istilah, kecuali pada istilah-istilah yang mungkin tidak ada padanannya dalam bahasa Jawa,, namun demikian, bahasa itupun masih disentuhkan pada kearifan bahasa lokal; Kalimat Syahadat = Kalimosodo dan beberapa kosakata lainnya,, atau bahkan “membersihkan” makna awal dengan makna yang baru,, Sanggar [tempat ibadah Agama Jawa; Kapitayan] = Langgar [masjid kecil],,

“KENE, SINAU KENE KARO WAYANG”
Wayang, Jika ditinjau secara mendalam,, [ternyata] Wayang bukanlah hanya satu [sebuah] pergelaran; pertunjukan saja,, namun lebih pada sebuah pendidikan/pengajaran untuk hidup sebagai orang yang beragama dan berbudaya,,
Secara umum, bisa ketahui bahwa budaya itu lahir dari pencapaian spiritual sebuah kelompok masyarakat,, Semakin tinggi pencapaian spiritual sebuah masyarakat, maka budaya yang dihasilkan pun akan semakin luhur [tinggi, luas dan mendalam],, Mungkin bisa dikatakan, Wayang adalah bentuk entertainment dari syiar Islam Walisongo, dan [ternyata] Walisongo tidak membiarkan segala sisi masyarakat Nusantara untuk tidak diberikan sentuhan Islami,,

[kembali disampaikan bahwa] Walisongo adalah manusia biasa, namun beliau-beliau diberikan hidayah, sehingga sampai sekarang kita masih bisa melihat jejak warisan beliau-beliau di Nusantara ini,, Walisongo “hanya” mencontoh [mengikuti; menauladani] kekasihNYA, Muhammad SAW,, Muhammad SAW yang “hanya” manusia, namun tak biasa, karena Muhammadun basyarun lâ kalbasyari, Bal huwa kal yâqûti bainal hajari,,
(Muhammad SAW adalah seorang manusia namun bukan manusia biasa, dia laksana batu permata diantara bebatuan biasa),,




ipungsweettenan@01082015



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sinau Mati

PENGETAHUAN KARAWITAN